Dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata,
Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap
urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.” (HR At-Tabrani)
Hadits
ini banyak diriwayatkan oleh ahli hadits dengan lafadz dan sanad yang
berbeda. Dan dari semua sanad yang berbeda, para ulama hadits
mempermasalahkan keshahihannya. Tetapi para ulama sepakat bahwa secara
lafadz dan makna hadits ini adalah benar dan tidak bertentangan dengan
nilai Islam yang universal. Secara makna hadits ini sesuai dengan
nilai-nilai Islam yang terkait dengan ukhuwah Islamiyah, baik yang
disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat” (Al-Hujuraat: 10)
Rasulullah saw. bersabda,
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan
ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit,
mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Ukhuwah
Ihtimam atau kepedulian,
perhatian dan keprihatian kepada nasib umat Islam adalah kata kunci dari
ukhuwah Islam. Kepedulian menunjukkan kepekaan hati dan jiwa yang hidup
sehingga ketika melihat saudaranya menderita, terzhalimi dan sakit,
maka ia akan merasakan apa yang dialami saudaranya. Kemudian berupaya
sekuat tenaga memberikan bantuan yang bisa dilakukan.
Tiada
ukhuwah tanpa kepedulian. Dan ukhuwah merupakan bukti dari keimanan
seseorang. “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara….”
(Al-Hujuraat 10).
Husnuzhon
Tingkatan
ukhuwah yang paling rendah adalah husnudzon (berbaik sangka) atau
bersih hati (salamatul qalb) dan tidak melukai hati saudaranya. Firman
Allah Ta’ala, ”….dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Dalam
sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan An-Nasai, Anas bin
Malik r.a. berkata, ketika kami sedang bersama Rasulullah saw., beliau
bersabda, “Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka
muncullah seorang dari Anshar, janggutnya basah bekas wudhu dan tangan
kirinya membawa sandal. Keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata lagi,
“Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka datanglah
lelaki itu dalam kondisi seperti kemarin. Keesokan harinya, Rasulullah
saw. berkata seperti kemarin. Dan muncullah lelaki itu. Maka tatkala
lelaki itu bangun, Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, ”Saya
berselisih dengan ayahku dan berjanji tidak masuk kerumahnya tiga hari.
Jika anda membolehkan saya tinggal di rumahmu sampai janjiku selesai,
maka aku akan lakukan.” Maka lelaki itu berkata, ”Boleh.”
Berkata
Anas, ”Abdullah tidur di rumahnya. Di malam pertama, tidak melihatnya
sholat malam, kecuali ketika dia akan tidur melakukan dzikir dan takbir
sampai bangun untuk shalat Shubuh. Saya tidak mendengarnya berkata
kecuali yang baik-baik. Ketika sudah lewat tiga hari, saya hampir
meremehkan amalnya dan berkata: ”Wahai Abdullah, sesungguhnya aku tidak
berselisih dan bermusuhan dengan ayahku, tetapi aku mendengar Rasulullah
saw. berkata tentangmu tiga kali dalam tiga majelis, bahwa akan datang
kepada kalian seorang penghuni surga. Maka muncullah Anda tiga kali.
Saya ingin tinggal di rumah Anda dan melihat amal Anda. Tetapi saya
melihatnya biasa saja. Ketika aku hendak pergi, dia memanggilnya dan
berkata, ”Apa yang aku lakukan seperti yang Anda lihat, lebih dari itu,
saya tidak pernah dengki pada seorangpun dari umat Islam, tidak hasad
atas kebaikan yang Allah berikan kepada mereka.” Maka berkata Abdullah
bin Amru padanya, ”Inilah yang telah mengantarkan Anda (pada derajat
yang tinggi, sehingga sudah mendapat jaminan masuk surga dari Rasululah
saw.), dan ini yang kami belum mampu.”
Mencintai untuk Saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya
Tingkatan
ukhuwah pertengahan adalah merasakan apa yang dirasakan saudaranya,
mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana mencintai kebaikan untuk
dirinya sendiri. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak beriman seseorang
dari kamu sehingga mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai
untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
Itsaar
Tingkatan
ukhuwah tertinggi adalah itsaar, atau mengutamakan saudaranya atas diri
sendiri dalam masalah keduniaan. “….mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang
yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan….” (Al-Hasyr: 9)
Kaum Anshar adalah kelompok sahabat
yang diabadikan Al-Qur’an karena sifat itsaarnya yang sangat dominan.
Mereka di antaranya Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan istrinya. Disebutkan
ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih, dan mengutamakan
kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia
dan beruntung. Dalam hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang
suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan
musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim (Rumaisha
binti Milhan). Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak
mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan
tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah satu
porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.
Munthalaq Dakwah
Kepedulian
juga merupakan titik tolak dan langkah awal dari dakwah. Seorang yang
tidak peduli dan prihatin dengan kondisi umatnya tidak akan mungkin
bergerak dan melangkah melakukan dakwah. Oleh karena itu ketika Abbas
As-Sisi sedang berjalan dengan gurunya Imam Syahid Hasan Al-Banna, Abbas
As-Sisi mendengar informasi bahwa Bosnia jatuh ke tangan orang kafir.
Ia berkata, ”Saya prihatin dan sedih akan nasib umat Islam di Bosnia.”
Maka dengan spontan Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan:” Anda telah
mulai wahai Abbas”.
Sebelumnya pemimpin para nabi dan pemimpin
seluruh umat manusia, Rasulullah Muhammad saw., ketika pertama mendapat
risalah dakwah, beliau mengatakan, ”Habis sudah waktu untuk tidur, wahai
Khadijah.” Habis sudah waktu untuk bermain-main dan senda gurau. Habis
sudah waktu untuk bersenang-senang di tengah umat Islam yang sedang
ditindas dan dibantai, di tengah umat Islam yang terbelakang, miskin,
dan bodoh, di tengah umat Islam yang lalai dan larut dengan kemaksiatan.
Habis sudah waktu untuk istirahat, rekreasi, dan tertawa-tawa di tengah
umat Islam Palestina yang disembelih dan ditumpas habis oleh Zionis
Yahudi. Habis sudah waktu untuk santai di tengah umat Islam Irak yang
sedang dijajah dan diadu domba oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Demikianlah sikap yang mesti dimiliki oleh para pemimpin umat.
Dan
ciri khas pemimpin sangat terkait dengan kepedulian terhadap umatnya.
Kepedulian para pemimpin Islam terrefleksikan pada keinginan yang kuat
untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan, bukan hanya di dunia,
tetapi di dunia dan akhirat. Ketika rakyatnya menderita, miskin,
tertindas, maka sikap seorang pemimpin adalah bagaimana bisa
menyelamatkan rakyat dan bangsanya, bukan mencari kesempatan di atas
kesempitan. Dan contoh kepedulian telah dipraktikan oleh Rasulullah saw.
dengan sempurna. Rasulullah saw. adalah manusia yang paling peduli,
perhatian dan paling banyak berkorban untuk umatnya, sebagaimana
disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 128.
Rahmat
Ihtimam,
ukhuwah, dan dakwah merupakan refleksi dari rahmat yang terpancar
kepada umatnya. Dan Rasulullah saw. bukan hanya bersikap rahmat bagi
umat Islam, umat manusia, bahkan rahmat bagi semesta alam. Betapa
besarnya rasa kasih sayang Rasulullah saw. kepada manusia sehingga
beliau menginginkan bahwa semuanya beriman kepada Allah dan beriman
kepada ajaran Islam. Dengan demikian mereka akan terbebas dari
penderitaan yang maha berat, yaitu bebas dari api neraka. Inilah risalah
beliau yaitu mengajak manusia agar mereka memperoleh hidayah Islam.
Rasulullah
saw. rela mengorbankan segala kesenangan dunia demi untuk menyelamatkan
umat manusia. Jika malam hari, beliau sangat khusyuk dan lama bermunjat
kepada Allah swt. agar manusia terbebas dari pola hidup jahiliyah yang
akan mengantarkan mereka kepada neraka. Dan jika siang hari Rasulullah
saw. terus-menerus berdakwah dan berjihad untuk menyebarkan Islam kepada
seluruh manusia. Dan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. adalah ibadah, dakwah, dan kepedulian terhadap umatnya.
Kepedulian
dan khidmah (pelayanan) adalah ciri khas pemimpin sejati dalam Islam.
Sedangkan dalam manajemen modern, pelayanan atau service sangat
diutamakan dan menempati posisi yang sangat penting. Maka bertemulah dua
nilai yang saling mengokohkan, nilai Islam dan nilai-nilai
universalitas modern. Dalam Islam ada kaidah yang bersumber dari salah
satu riwayat hadits, berbunyi, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan
mereka.” (HR Ibnu Majah)
Hadits ini menurut para ulama sanadnya
lemah, tetapi karena riwayatnya banyak sehingga saling menguatkan dan
dapat sampai ke derajat hasan lighairihi (baik). Tetapi, sekali lagi
bahwa makna hadits ini benar dan Rasulullah saw. sendiri adalah contoh
dalam pelayanan dan kepedulian terhadap umatnya. Dan hadits ini sangat
tepat dengan manajemen kepemimpinan modern.
Kepedulian tampaknya
mudah diucapkan, tetapi hakikatnya susah direalisasikan. Ini karena
manusia pada umumnya sangat mencintai dirinya sendiri dan sangat
mementingkan diri sendiri, apalagi jika terkait dengan harta dan segala
macam kesenangan dunia. Kepedulian hanya dapat direalisasikan jika
seseorang memiliki kedalaman iman kepada Allah swt. dan hari akhir,
seseorang yang sangat mengharapkan ridha Allah swt. dan kehidupan hari
akhirat. Sehingga mereka akan banyak memberi, berkorban, dan peduli
terhadap yang lain. Begitulah yang terjadi pada diri Rasulullah saw.,
para sahabat, dan generasi salafus shalih.
Dan ciri khas dari
kedalaman iman akan tercermin dari kekhusukan dalam beribadah kepada
Allah swt. dan akhlak yang terpuji terhadap sesama manusia. (Al-Fath:
29)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar